Hai semua, kali ini saya pengen sharing nih. Jadi barusan aja ada notifikasi dari BMKG bahwa telah terjadi gempa dengan magnitudo 6,6 di Tuban. Semoga warga Tuban selalu dalam lindungan Allah ya, dan semoga gempa yang terjadi tidak menimbulkan dampak buruk bagi warga Tuban dan juga daerah lain yang sempat ngerasain guncangannya. Pokoknya kita berdoa yang terbaik untuk semua saudara-saudara kita dimanapun kalian berada, semoga senantiasa dalam lindunganNya, amin.
Nah ngomongin soal gempa, setiap dapat notifikasi gempa saya mesti keinget momen gempa di Bali yang waktu itu bermagnitudo 5,5. Pusat gempanya gak jauh dari lokasi tempat tinggal saya, jadi emang kerasa banget, sampai dinding rumah retak. Apalagi rumah orangtua saya gak jauh dari pantai. Perasaan was-was itu selalu ada setiap kali terjadi gempa.
Sebelum saya ceritain momen gempa di Bali saya mau bahas sedikit gempa di Tuban ini ya, jadi di sosmed lagi rame banget temen-temen saya yang di Jogja ada juga yang di Lombok pada ngerasain gempa semua. Tapi herannya saya yang di Jepara gak ngerasain apa-apa, ya wajib disyukuri juga kalau gak ngerasain. Cuman heran aja di Jogja temen-temen saya bilang kerasa banget.
Ya selama di Jepara saya emang gak pernah ngerasain gempa (Alhamdulillah), pernah saya dapat notifikasi dari BMKG terjadi gempa di Jepara, nah langsung deh saya konfirmasi ke keluarga di Jepara, posisi saya waktu itu kalau gak salah di Malang. Nah saya tanya ternyata gak ada yang ngerasa tuh, padahal magnitudonya diangka 4, lumayan gak sih. Tapi gak tau juga ya kenapa bisa gitu.
Oke kembali ke pembahasan gempa di Tuban yang mengingatkan saya dengan gempa di Bali. Kenapa gempa di Tuban bisa mengingatkan saya dengan gempa di Bali. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya karena ketika terjadi gempa diatas 5, secara otomatis pikiran saya kebawa momen gempa di Bali itu. Nah gempa 6,6 yang baru saja terjadi di Tuban, sudah membawa memory saya flashback ke momen gempa di Bali itu.
Saat Gempa 5,5 Itu Terjadi
Di tahun 2020 saya tidak ingat betul tanggal dan harinya, yang jelas waktu itu saat adzan Maghrib, saya yang berada di ruang tv merasakan guncangan yang keras, secara spontan saya langsung menggendong anak saya yang waktu itu usianya menginjak 2 tahun. Saya berlari keluar sambil menggendong anak saya. Ibu, bapak, dan adik saya juga langsung berlari keluar.
Karena gempa terasa begitu keras, ditambah lagi setelahnya ada gempa susulan beberapa kali yang cukup membuat jantung kami dag dig dug ser. Hati saya mulai tidak tenang, karena gempa susulan yang tiap beberapa menit terjadi. Saat itu saya hendak mengajak bapak, ibu, dan juga adek untuk pergi ke rumah paman saya. Tapi bapak saya tidak setuju, dengan dalih insyaAllah aman, gak akan terjadi apa-apa. Memang sih di BMKG diinformasikan gempa tidak berpotensi suami. Tapi tetap saja guncangan gempa susulan itu membuat saya semakin takut, apalagi saya menggendong anak saya yang masih kecil. Jadi saya sangat khawatir. Ibu dan adik saya juga merasa resah dengan gempa susulan yang masih terjadi. Akhirnya kita berangkat saja, saya yakin bapak saya mau gak mau pasti ikut.
Nah kan benar saja bapak saya gas motor dan akhirnya ikut juga ke rumah paman yang rumahnya searah dengan jalan menuju bukit. Saya shalat Maghrib di rumah paman, lingkungan rumah paman saya banyak yang memeluk Hindu, jadi suara anjing terdengar bersautan, seolah ingin menyampaikan bahwa mereka pun merasa resah dengan suasana malam ini. Setelah shalat magrib kita ngobrol-ngobrol, saya merasa sedikit tenang karena berkumpul dengan banyak orang. Namun selang beberapa menit setelah shalat nampak banyak orang yang berkendara kearah bukit.
Ibu saya penasaran dan bertanya ke orang yang lewat di depan rumah paman:
"Maaf mau tanya, ada apa kok pada kearah bukit?
"Itu ada yang bilang katanya air laut sudah naik, sirine juga katanya bunyi"
Deg, mendengar kata-kata itu saya gak mikir apa-apa. Saya langsung lari, ya berlari sekencang mungkin sambil menggendong anak. Rasanya saya gak perduli berita itu benar atau tidak, yang penting saya mau ke bukit dulu, setidaknya saya mencari tempat yang aman. Baru berlari beberapa meter, bapak saya memanggil saya dan menyuruh saya naik ke motor.
Tau gak saya naik motor bonceng tiga, eh bonceng empat sama anak saya. Jadi bapak saya yang nyetir motor, lalu dibelakang bapak ada ibu saya, kemudian saya dan anak saya. Hehehe kalau inget momen itu saya ngakak juga sih. Gak nyangka sepanik itu. Nah adek saya dibonceng sepupu saya yang kebetulan ketemu dijalan. Paman saya sudah tancap gas juga, saking paniknya rumahnya gak dikunci. Tapi disaat panik gitu udah gak mikir apa-apa lagi sih.
Jalan menuju bukit yang awalnya sepi mendadak ramai, suara klakson mobil dan motor bersautan, suara anjing menggonggong, suara orang berlari, ada yang berlari sambil mengucap istighfar, ada juga yang sambil mengucap laailaaha illallah, ada yang hanya mengucap Allah Allah. Pemandangan seperti itu membuat saya merinding. Diperjalanan semua ingin diberi jalan, semua orang panik. Dalam hati saya gak karuan, saya hanya memikirkan anak saya.
Sesampainya di bukit saya kaget ternyata sudah sangat ramai sekali, saya bersama ibu mencari tempat dimana kita bertemu dengan orang yang kita kenal. Akhirnya saya bertemu dengan paman, bibi, dan sepupu. Kami berkumpul bersama di bukit. Tapi saya belum melihat adik saya, saya gak tau dia dimana. Saya mencoba menghubungi tapi koneksi internet buruk.
Saya mencoba telfon tapi nomor telfon adik saya tidak aktif. Saya bingung, ibu saya sedih karena adik saya belum berkumpul bersama. Akhirnya bapak saya memutuskan untuk mencari adik saya.
Mengabari suami
Saya mencoba mencari sinyal untuk menghubungi suami, Alhamdulillah bisa terhubung, saya begitu hati-hati menyampaikan keberadaan saya. Saya takut suami saya panik, karena saat itu suami saya sedang bekerja di Malang. Saya berusaha setenang mungkin, saya sampaikan bahwa saya sedang di bukit, saya mohon doa supaya semuanya baik-baik saja.
Respon suami saya agak tidak percaya dengan apa yang terjadi, beliau mulai panik tapi saya yakinkan bahwa insyaAllah semua akan baik-baik saja.
Banser Meminta untuk Kembali Ke Rumah Masing-Masing
Di bukit itu semua orang panik, karena banyak yang terpisah dengan anggota keluarganya. Namun setelah kurang lebih 1 jam di bukit, akhirnya Banser datang dan meminta kita semua yang ada di bukit untuk turun dan pulang ke rumah masing-masing. Banser menginformasikan bahwa semua aman, tidak ada apa-apa.
Namun sebagian besar orang-orang menolak untuk pulang, karena khawatir akan terjadi gempa susulan lagi. Banyak orang ingin tetap di bukit, namun Banser berusaha meyakinkan semua orang untuk kembali ke rumah masing-masing. Akhirnya gak lama kemudian orang-orang satu persatu turun. Saat itu saya masih memikirkan bapak dan adik saya yang entah mereka dimana.
Akhirnya saya dan ibu turun bukit, tapi kami tidak akan pulang ke rumah. Kami ingin di rumah paman. Diperjalanan akhirnya saya bertemu bapak saya, bapak mengantar kami ke rumah paman, dan ternyata adik saya sudah ada di rumah paman, Alhamdulillah.
Banyak orang yang mengungsi di rumah paman saya, bahkan malam itu halaman rumah paman penuh orang. Orang-orang rela tidur di halaman karena gempa susulan masih sering terjadi. Malam semakin larut, saya tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Tiba-tiba ibu saya bilang begini:
"Nis kalau besok masih gempa begini, mendingan kamu ke malang atau ke Jepara dulu. Kasian si Abang (anak sulung saya).
"Gak insyaAllah aman kok Bu". Saya mencoba menenangkan ibu saya.
Malam berlalu, pagi hari kami semua kembali ke rumah. Saat kembali ke rumah barulah muncul banyak cerita.
Berita Bohong, Senjata Orang Nyolong
Setelah kembali ke rumah barulah kami mendengar kabar, bahwa ada orang yang memang memanfaatkan momen ini untuk menyebarkan berita bohong supaya punya kesempatan untuk nyolong. Ya kondisi panik dijadikan senjata untuk bisa mengambil barang-barang berharga milik orang lain. Kejam banget gak sih? Beruntungnya orang itu sudah ditangkap dan di penjara.
Pelajaran Berharga
Ya kejadian itu menjadi pelajaran yang sangat berharga. Disitu saya sadar bahwa manusia itu pada hakikatnya tak berdaya. Saya juga menjadi mengerti bahwa semua ini bisa sirna kapanpun. Apa yang bisa dibanggakan? Apa yang mau di sombongkan?. Seolah dengan kejadian itu, saya diberikan gambaran kecil dari akhirat, dimana kita mempertanggung jawabkan diri kita masing-masing, sudah tidak perduli dengan siapapun, karena semua sibuk dengan dirinya sendiri.
Sekian sharing saya kali ini, semoga ada manfaatnya ya.
Posting Komentar untuk "Gempa di Tuban 6,6 Mengingatkan pada Gempa Di Bali"